Sabtu, 31 Oktober 2015

Dia Nggak Tau


Aku bahkan nggak tau apa yang terjadi denganku malam itu. Seperti biasa aku hanya chat dengan teman-temanku. Kemudian ada salah satu chat masuk yang menyuruhku pergi ke masjid dengan keperluan rapat mahasiswa KKN.

Aku anak masjid. Keren kan ya?

Begitu sampai masjid, ku kira sudah banyak sekali orang berkumpul, tapi ternyata hanya ada empat orang di sana dan salah satunya adalah aku. Mahasiswa KKN tadi ternyata salah seorang teman dari temanku yang menyuruhku untuk pergi ke masjid. Di sana kami hanya ngobrol santai dengan maksud mau membuka kajian remaja di masjid ini.

Aku di sana mendengarkan dan masih sambil chattingan dengan teman-temanku. Sampai pada akhirnya ada sebuah chat yang seperti ini, 



Entah kemasukan apa pikiranku saat itu, setelah mendapatkan chat seperti itu aku kemudian pamit pulang karena memang yang dibahas di masjid itu sudah selesai juga sih, jadi hanya menyisakan obrolan ngalor-ngidul. Aku bergegas pulang dan kemudian mengambil motor dengan semangat. Seperti perasaan ketika mau menerima gaji pertamamu dalam bekerja. Ya walaupun aku belum pernah gajian, tapi kan katanya gajian menyenangkan bukan?

Aku tak metu dilit neng nggone kancaku ya.” Kataku ketika pamit sama bapak ibu.
Saat itu aku langsung memutuskan untuk membeli terang bulan coklat keju langgananku, untuk menemaninya belajar. Iya, walaupun aku belum nawarin dia terang bulan coklat keju, tapi ya siapa sih yang nolak kalau dikasih terang bulan coklat keju?

Di perempatan Jokteng Wetan aku masih senyam-senyum sendiri sambil membayangkan bertemu dengannya dan membawakan terang bulan coklat keju. Setelah belok kanan dari perempatan Jokteng, maka akan berada di Jalan Brigjend Katamso, dan di jalan ini terdapat terang bulan langgananku, yang letaknya di depan kantor BCA. Habis riting kanan dan bersiap untuk menyebrang jalan. 

*braaaaakk*

Aku tabrakan.

Eh diserempet ding.

Iya, aku diserempet motor lain dari belakang. Aku dan motorku jatuh sempat terseret. Ketika bangun aku langsung mematikan mesin motorku dan berusaha meminggirkannya dengan dibantu mas tukang parkir, dan mas-mas yang kebetulan lewat.

Setelah berada di tepi dan motorku juga sudah di pinggirkan, ketika ku standar tengah barulah ku menyadari kalau ban motorku bocor yang sampai habis anginnya. Selebihnya ya mblarit saja. Aku masih merasa kalau motorku nggak kenapa-kenapa sih.

Yang nyerempet menghampiriku, dia juga sepertinya panik. Ya emang dia yang salah sih harusnya. Dan terbukti motornya nggak kenapa-kenapa. Masih anak SMA kayanya atau malah SMP, karena terlihat memang masih bocah, juga motornya itu masih baru aja gitu.

Kemudian ada seorang bapak-bapak menghampiriku, yang ternyata adalah bapaknya bocah tadi, dia menanyakan begini,

Pie le? Kowe mabuk po? Mendhem? Opo ngobat?” tanya beliau.

Hmmm cangkemmu” batinku. “Le nyerempet kan anakmu. Anakmu ki ra weruh kene riting, dan posisine anakmu banter.

Tapi karena aku dari habis jatuh kaki, tangan, dan mulutku tidak bisa dikontrol dengan baik jadi aku hanya diam saja dan tidak mengatakan hal itu tadi. Kaki, tangan dan mulutku ndredeg semua. aku baru sadar kalau aku ternyata bisa shock juga.

Mboten, pak. niki kula mung ajeng tumbas martabak ten ngarepan niku sakjane. Tur pas ameh nyebrang malah diserempet putrane njenengan.” Jawabku setelah meminum air  putih pemberian angkringan depan lokasi kejadian.

Kami kemudian membahas tentang masalah ini di pinggir jalan itu. anaknya disuruh pulang sama bapaknya, kami bermaksud untuk menyelesaikannya secara kekeluargaan. Aku dan bapaknya bertukar nomor handphone, dan bapaknya bilang kalau dia adalah security di salah satu bank yang berada di daerah Kranggan. Lalu beliau meminta KTP ku untuk jaminan. Goblok kan? Anaknya beliau yang nabrak aku, tapi yang dimintai KTP malah aku. Tapi yang lebih goblok adalah, aku ngasih aja gitu KTP ku ke dia. Dan tanpa minta KTP dia! Silit. Lali tenan aku.

Aku ditinggalkan begitu saja setelah rembukan tadi. Ya kurang lebih seperti saat kamu kemarin habis jalan bareng gebetanmu untuk yang pertama kali, tapi pagi hari kemudian dia nggak bilang apa-apa walau hanya sekadar terima kasih. Dan bahkan chat kamu cuma diread aja.

Di saat seperti itu, aku masih sempat untuk menyeberang dan menanyakan apakah terang bulannya masih tersedia atau enggak. Tetapi tentu saja sudah habis. Terang bulan langgananku ini memang termasuk ramai pembeli, jadi wajar kalau cepat habis.

Akhirnya ku tuntun motorku untuk mencari tambal ban menyusuri Jalan Brigjend Katamso.  Urusan terang bulannya ditunda dulu sampai urusan sepeda motorku ini bisa digunakan untuk jalan lagi. Seingatku, tambal ban ada hanya yang berada di sekitaran Jogjatronik. Itupun kalau masih buka jam sembilan lebih. Jadi aku berjalan ke utara terus. Sesampainya di pertigaan burjonan itu, di depan Martabak Kubang aku ditanyain ibu-ibu motornya kenapa, aku jawab saja kalau bannya bocor, dan dia kemudian mengatakan kalau di sebelah burjonan yang ada di jalan masuk itu biasanya masih buka tambal ban. Dan ku parkirkan motorku di depan Martabak Kubang tadi untuk menengok tambal ban tersebut. Setelah memastikan buka, ku bawa motorku kesana.

Ketika banku dibuka tidak mengherankan kalau bocor, karena sobekannya sendiri lebih dari 10 cm, dan tentu saja nggak bisa ditambal, tapi harus diganti ban. Jebul suwek e gedhe tenan. Iya, uang yang tadinya diniatkan untuk membeli terang bulan, malah kepakai buat ganti ban.

Tapi karena tekadku sudah bulat untuk membelikannya makanan, setelah motorku sudah selesai ditambal, aku kemudian pergi ke atm terdekat dan mengambil uang. Yang ternyata paginya baru sadar kalau kartu atmku ketinggalan di mesinnya.

Setelah mengambil uang, aku pergi mencari alternatif makanan lainnya. Pilihanku jatuh kepada roti bakar di selatan SD N Prawirotaman. Ini juga roti bakar langganan. Kenapa nggak malah Martabak Kubang tadi? Selain karena belum pernah ngerasain, harga yang ditawarkan terlalu tinggi untuk aku yang baru saja mengganti ban dalam motorku. Di roti bakar tadi, aku masih memesan menu yang sama, coklat keju. Akupun kemudian kembali ke Jalan Brigjend Katamso. Pada dasarnya emang kalau mau ke rumahnya lewat jalan itu sih. Tapi aku naik motornya pelan-pelan dan sangat berhati-hati.

Ketika sampai di depan rumahnya, aku nggak berani mencet bel. Karena belnya juga adanya di dalem pager, dan buat nggeser pager di jam segitu rasanya sudah tidak mungkin. Akhirnya aku memutuskan untuk menelponnya saja.

Tuuuuuut...tuuuuutt.. telepon pertama

Tuuuuuut...tuuuuutt.. telepon kedua

Tuuuuuut...tuuuuutt.. telepon ketiga

Dyar. Wes turu po yo bocahe? Sampai di telepon ketiga itu aku hampir memutuskan untuk meninggalkan roti bakar itu di pager rumahnya, tapi aku jadi mikir, lha iya kalau paginya langsung diambil dibuka kemudian di makan, lha tapi kalau malah diambil dan dibuang padahal belum sempet tau itu isinya apaan? Atau malah, pas ditinggal di pager diambil orang lewat? Atau malah, dikira bungkusan misterius kemudian ditelponkan gegana karena dikira bom?

Ya gitu, orang kalau mau ketemu cewek cantik emang jadi bego.

Tapi telpon keempat diangkat,

“Halo, iya, Da. Ada apa?”

Deg. Aku deg-degan. Mati aku, teleponku diangkat.

Seketika pengen langsung matiin telepon saking deg-degannya.

“Iya halo, ini aku di depan rumah kamu. Kamu keluar bentar dong.”

“He? Iya, bentar ya”

Dia keluar rumah udah pakai setelan tidurnya sepertinya. Cantik. Aku benar bersyukur karena tetap membelikannya makanan untuk menemaninya belajar malam ini.

“Maaf, tadi dari kamar mandi dan handphoneku tak charge, jadi nggak tau kalau ada telpon. Ada apa e, Da kok malem-malem?”


“Oh, ini aku tadi gabut banget di rumah, terus keluar jalan-jalan, eh pas lewat rumah kamu jadi kepikiran aja beliin roti bakar.”

Pret banget ya?

“ Ya Allah, Da kok selo bangeeeet. Malah jadi repot-repot kan”

“Halaaaah, enggak repot kok (kalau buat kamu). Kan lumayan bisa sekalian nemenin kamu belajar (juga biar bisa ketemu sama kamu). Ya udah, karena udah malem aku pulang dulu ya. Semangat belajarnya dan semoga doyan.”

“Iya, makasih lho, Da. Beneran.”

“Santaaai thaaa. Sek yaaa”

Ati-ati ya, Da”

Aku pun akhirnya pulang. Dengan senyum sumringah. Jam masih menunjukkan sekitar pukul sepuluh lebih. Asalkan nanti tidak ditanya apa-apa sampai rumah, aku aman. Motor juga tidak terlihat habis serempetan. Aman.

Iya, sampai sekarang orang tuaku nggak tau kalau aku malam itu habis serempetan di jalan malam itu. Aku juga bersyukur tidak sakit parah, hanya shock kemarin dan lecet di kaki. Motorku juga cuma bocor bannya, dan nggak peyok.

Iya, dia sampai sekarang pun nggak tau kalau aku dari rumah mau beliin dia makanan yang niat awalnya adalah terang bulan coklat keju yang kemudian berubah jadi roti bakar coklat keju gara-gara aku serempetan di jalan. 

Kalian pikir ini romantis? Enggak, ini nggak romantis. Karena kalian juga nggak tau, kalau bulan lalu dia habis anniversarry ke 5 sama pacarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar