Jumat, 31 Mei 2013

Sheila On (Sweet) Seven(teen)

Pertama kali denger Sheila On 7 itu waktu masih SD, dan sekarang nggak kerasa udah mau kuliah aja. Waktu sekarang emang cepet banget. Alasan bisa suka sama Sheila On 7 itu karena musiknya, easy listening banget, walaupun kemudian di album Pejantan Tangguh nggak se easy album-album sebelumnya. Terlebih lagi setelah tau mereka dari Jogja, jadi tambah cinta aja sama mereka. Ya, karena aku sendiri juga lebih ngefans dengan band yang berasal dari kota yang sama dengan kota kelahiranku. Suatu kebanggaan tersendiri.

Dan akupun memilih lagu Terlalu Singkat sebagai lagu favorit. Ya, karena memang, hidup terlalu singkat untuk kamu lewatkan tanpa mencoba cintaku.

Arda, 18 tahun, teman dari keponakannya Duta SO7

Nah, dari pada baca tulisanku yang nggak jelas kemana arah dan tujuannya, mendingan baca tulisan dari masjaki dan teman-temannya tentang sheila on 7 di mata mereka. Monggo disimak.







Sheila On 17


Sheila on 17. Design by @herwanayogi
INTRO
Bagi saya, kenangan adalah bahan tulisan yang tidak habis ditimba. Teman saya yang merasa  tak pandai merangkai kalimat sekalipun tiba-tiba muncul dengan sebuah tulisan legit nan empuk saat mengenang perjuangan menonton band idolanya di tanah Eropa sana.
Sepahit atau semanis apapun, kenangan selalu punya daya tarik.
Dan inilah yang saya lakukan. Band idola saya, Sheila On 7 tempo hari merayakan usia ke-17. Usia yang dianggap sakral dalam perjalanan hidup manusia. Tahun kemarin saya merayakannya dengan menempuh 540 kilometer ke Yogyakarta menyaksikan konser ulang tahun dan membuat sebuah wawancara terbaik yang pernah saya lakukan. Tahun ini, saya ingin memberikan kenangan pada mereka, meski sedikit telat.
Tujuh belas orang terpilih saya undang untuk memilih sebuah lagu Sheila On 7 yang paling ter-muach di hati. Tujuh belas orang ini datang dari berbagai macam profesi. Dari jurnalis musik kenamaan, pengelola perpustakaan merangkap toko piringan hitam, pegawai negeri, dosen, mahasiswa, karyawan swasta, ibu rumah tangga, sampai yang mengaku sebentar lagi menambah angka pengangguran.
Tujuh belas orang ini mungkin sekarang sudah mengembara jauh dengan selera musiknya masing-masing. Namun mereka punya irisan kenangan yang sama. Dan mereka akan membagi kenangannya bersama Sheila On 7 untuk anda semua. (Fakhri Zakaria, 26 tahun, memilih Yang Terlewatkan karena dipuji suaranya mirip Duta saat menyanyikan lagu itu dalam acara karaoke kantor)
Agib Tanjung, 26 tahun, bassis band grunge Alterego (Yogyakarta) dan jurnalis merdeka.com
Duta dan Adam adalah tetangga saya di Perumahan Sawit Sari, Condong Catur, Sleman, Yogyakarta. Saya saksi hidup saat Duta dan Adam manggung di acara Malam Tirakatan 17an di komplek. Saat itu Sheila On 7 belum dikenal di industri musik.
Hingga suatu hari saya mendengar kabar lagu Duta dan Adam masuk di program Ajang Musikal di radio Geronimo FM. Saat itu juga saya baru kenal nama band mereka. Sheila On 7. Lagu Kita menjadi andalan mereka. Seketika warga komplek Sawit Sari heboh begitu tahu lagu bandnya Duta dan Adam diputar di radio. Sungguh fenomenal dan membanggakan sekali.
Waktu itu saya mempunyai tape double deck berkualitas baik. Lagu Kita pun menjadi lagu yang kesekian saya rekam di kaset kosong. Tujuannya jelas. Saya tak perlu lagi menunggu penyiar Geronimo FM memutarnya.
Pernah suatu sore saya bertemu Duta. Saya ingin minta Kita karena hasil rekaman amatir saya tadi suaranya sudah ambyar. Duta menjawab santai, “Tunggu wae, sesok ono kasete. Kowe kudu tuku lo (Tunggu saja, besok ada kasetnya. Kamu harus beli lho). Saya cuma bengong karena tidak pernah menyangka Sheila On 7 bakal rilis album sungguhan.
Duta menepati janji. Beberapa hari setelah album bersampul hijau itu rilis, saya lihat beberapa personil lain berkumpul di rumah Duta. Ada Adam, Eross, Sakti, dan Anton. Saya dan teman-teman langsung minta tanda tangan di kaset kami masing-masing. Adam atau Sakti nyeletuk, “Halah, ngopo je ndadak njaluk tanda tangan barang ki (Halah ngapain pakai minta tanda tangan). Itulah mereka, artis kebanggaan kami. Artis Sawit Sari. Artis Yogyakarta yang sampai sekarang masih selalu melegenda namanya.
Saya bersumpah saya adalah fans sejati mereka. Pecinta lagu-lagu mereka, walaupun saya tidak pernah terdaftar resmi sebagai Sheila Gank. Jika ada orang yang tanya ke saya, apa lagu yang paling saya suka dari mereka, saya pasti bingung. Iya, jelas bingung. Hampir semua lagu-lagu Sheila On 7 saya hapal diluar kepala. Hampir semua lagu bisa saya mainkan dengan gitar, persis sama dengan kord asli mereka.
Lagu-lagu Sheila On 7 jagoan saya ada banyak. Kalau saya turuti bakal lebih panjang lagi tulisan ini. Yang jelas Jalan Terus  adalah lagu yang paling saya sukai. Lagu yang jadi motivator sekaligus penuh pesan religi bagi saya. Penambah semangat kalau lagi sedih.  Mereka motivator saya untuk bermain musik. Tanpa mereka saya nggak akan pernah belajar gitar, belajar drum dan main bass hingga sekarang.
Saya tidak bisa berhararap banyak pada Sheila On 7. Entah mereka nantinya cepat atau lambat akan bubar, itu urusan dan hak mereka. Tapi yang jelas lagu-lagu mereka, karya-karya mereka nggak akan pernah hilang. Tetap menjadi kebanggan Yogyakarta, dan jadi band legendaris di Indonesia.
Dari saya, pemuja rahasia kalian.
Arban Khoiri, 29 tahun, karyawan swasta dan  Editor in Chief  Layar-Tancep.com
Ingatan saya melayang ke masa silam di saat saya masih sekolah dengan celana pendek biru.  Sheila On 7 memang telah menangkap hati saya sejak kehadiran album pertama mereka. Walau saya tak selalu membeli album mereka, namun banyak lagu-lagu mereka yang saya hapal. Lirik-lirik mereka yang sederhana namun bermakna, musik yang langsung memeluk telinga, dan vokal Duta yang khas adalah penyebab kejatuhan hati saya. Dan mereka pulalah yang telah berjasa mengenalkan seorang gadis ayu yangIndonesia banget kepada saya. Dian Sastrowardoyo
Maka itu, ketika ditanya, “Apa lagu Sheila On 7 yang paling termuaaaaaach di hati?,” pikiran saya melayang hanya ke satu lagu, Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki. Karena melalui video klip lagu inilah saya diperkenalkan kepada paras cantik Dian. Namun lepas dari faktor Jeng Ayu ini, Anugerah… memang lagu Sheila On 7 yang paling nempel di hati saya. Lirik yang puitis, tapi tidak dipaksa romantis menjadikan lagu ini kuat. Tidak menye-menye seperti kebanyakan lagu band-band zaman sekarang yang sok puitis dan romantis. Ditambah lagi orkestra yang mendukung musik dari Eross cs., menjadikan bulu kuduk saya selalu merinding setiap kali mendengarkan lagu ini.
Sampai saat ini, menurut saya, tampaknya prestasi Duta dan kawan-kawan dalam menciptakan dan menyanyikan Anugerah… belum dapat ditandingi oleh lagu-lagu mereka yang dirilis setelahnya.
Ardhi Zulhakim, 24 tahun, PNS di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
Nukilan tak pernah ku lari dari semua ini salah satu dari sekian banyak kata bijak yang disemburkan dalam Jalan TerusTrack terakhir dalam album The Very Best of Sheila On 7. Jalan Terus menggambarkan kedewasaan band yang sudah menginjak umur 17 tahun pada 2013 ini. Lirik yang jujur, tegas dan apa adanya diperlihatkan ketika pertama kali mendengarnya. Tak perlu IQ sekaliber Einstein untuk mencerna apa yang tersirat.
Ada kenangan saya pada lagu ini. Ketika menyusun skripsi, lagu ini yang selalu ada diplaylist dan selalu menjadi lagu pembuka saat mencari setitik semangat dan inspirasi diantara keputus-asaan. Lagu ini pula yang setia menemani saya saat yang lain terlelap dengan mimpi indahnya sementara saya masih terhinggapi mimpi buruk skripsi yang sangat liar.
Bekerja dan terus bekerja, hingga saat kita tak berguna lagi. Kalian tahu Maslow’s Hierarchy ? Adakah hubungan penggalan lirik di atas dengan teori tersebut?  Jawabannya ADA. Secara singkat teori tersebut menyebutkan bahwa kebutuhan tertinggi manusia adalah aktualisasi diri. Bekerja dan terus bekerja bukan berarti untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tetapi bekerja yang menghasilkan guna bagi orang lain. Itulah yang disebut aktualisasi diri dalam hemat saya.
Banyak kata yang menginspirasi saya pada lagu ini. Hingga saat inipun lagu ini menjadi pelecut dalam jalan hidup saya dan menjadi bio akun Twitter saya, @idjulnotardhi.
Arman Dhani, 26 tahun, mahasiswa pascasarjana di dua universitas di Yogyakarta
Saya pernah tergelitik dengan pertanyaan sederhana. Jika saya harus terasing di sebuah pulau lantas diberi kesempatan untuk membawa sebuah buku, lagu dan film. Kira kira apa yang akan saya bawa? Untuk buku saya bingung memilih antara Cinta Tak Datang Tepat Waktu milik Puthut EA atau Jejak Langkah karangan Pramoedya Ananta Toer. Di seksi film saya gusar memilih antara Ikiru besutan Akira Kurosawa atau V for VendettaWachowski bersaudara. Sedang untuk lagu, tanpa keraguan saya menjawab Sebuah Kisah Klasik susunan Sheila On 7.
Lagu ini saya kira sudah tuntas merekam segala memori dan kenangan yang dibutuhkan untuk terasing selamanya. Ketika ia diputar, seluruh kenangan bisa hadir sebagai sebuah proyeksi. Melahirkan gambaran-gambaran yang selama ini luput atau bahkan kita nafikan keberadaannya.  Sheila On 7 adalah sedikit dari band Indonesia yang secara piawai pandai menyusun syair sehingga para pendengarnya memiliki ikatan emosional. Tapi apakah sesederhana itu? Saya kira tidak.
Sebuah Kisah Klasik barangkali adalah satu-satunya lagu yang paling paripurna yang menggambarkan kepergian. Syairnya tidak bicara dengan genit atau kepalang sendu bahwa perpisahan selalu melahirkan jarak. Tapi secara estetik nada yang dihasilkan melahirkan nuansa sedih yang pilu. Bahwa mungkin hari ini yang akan kita rindukan dan kelak waktu ini yang akan akan kita banggakan, Eross Candra penulis syair ini seolah bicara dengan lantang bahwa perpisahan adalah niscaya. Bahwa tak perlu malu menghadapinya dengan tangisan karena akan selalu ada yang memeluk tubuh dan mengusap air matamu.
Saya baru saja SMP ketika lagu ini diluncurkan. Tak paham benar makna perpisahan karena sebagian besar kawan SMP masuk pada SMA yang sama. Tak ada yang benar-benar membuat saya merasa haru dan mengingat masa lalu. Namun setelah menginjak kuliah dan menghabiskan 8 tahun masa studi, lagu ini adalah obat yang mengingatkan bahwa ada masa dimana saya memiliki sebuah kisah klasik. Dimana saya memiliki kawan-kawan yang sama naif dan tolol memandang masa depan. Kebodohan yang sama-sama kita lakukan dan sepakati sebagai monumen peringatan masa lalu.
Dimulai dengan petikan sederhana monoton yang pada detik ketujuh disambut oleh vokal sendu Duta Modjo. Diiringi permainan drum sederhana dari Anton Widiastanto lagu ini awalnya saya kira adalah lagu yang malas. Saya tak paham benar apakah pembuka lagu ini adalah Sakti Ari Seno atau Eross. Namun saya menduga Sakti karena pada detik ke-24 cabikan bass Adam Subarkah dan efek solo gitar serupa tetesan air masuk dengan elegan. Semua suara yang dihasilkan repetitif dan nyaris tanpa ada perubahan hingga detik ke-74 dimana reff dimulai dengan tambahan sayatan violin. Siapapun yang punya ide memasukan elemen suara ini, dia brengsek.
Sayatan violin pada Sebuah Kisah Klasik melahirkan ornamen yang nyaris sangat berbeda dengan keseluruhan lagu dalam album ini. Ia kalis namun tak mendominasi. Tidak menutupi dan menghilangkan karakter vokal Duta. Namun disaat yang sama ia menegasikan suara gitar dan melahirkan imaji ruang yang jauh. Saya membayangkan sebuah ruang kelas yang kosong pada sore hari. Seseorang datang ke kelas itu setelah menahun meninggalkan sekolah. Datang dengan rambut gondrong dan memegang meja dimana ia duduk. Tersenyum lantas pelan pelan mengingat memori di masa itu.
Saya ingat sekali video klip Sebuah Kisah Klasik ini. Barangkali inilah satu-satunya video klip Sheila On 7 yang digarap secara eklektik namun tak kehilangan cita rasa artistik. Ia mampu dengan sederhana namun berkelas menangkap substansi lagu ini yaitu terharu seakan tiada bertemu lagi dan kita yang mengabadikan momen hari ini sebagai sebuah kisah klasik untuk masa depan. Penutup video klip entah mengapa saya pikir sangat monumental. Seluruh anggota Sheila On 7 berdiri seperti mannequin di etalase. Subtil.
Barangkali efek dan keanehan paling magis adalah keberadaan gumam dan bisik-bisik tak jelas pada detik ke-135. Berulang kali saya mengulang 5 detik paling magis untuk memahami apa yang dibicarakan oleh kerumunan ini. Seolah olah ada yang menunggu lepas. Ada yang menunggu dipahami. Menunggu untuk keluar. Apalagi sesudahnya Duta lantas melakukan sebuah longlongan pilu. Solo yang menegasikan semangat dan seolah merayakan kepergian yang jauh. Saya selalu gemetar mendengar ini.
Tapi apalah artinya seluruh kata sulit yang saya tulis ini. Ia tak akan merubah fakta betapa lagu ini begitu dahsyat memberikan perasaan rindu yang begitu hebat. Sheila On 7 selalu bisa bicara tentang hal luar biasa dengan bahasa paling sederhana. Namun kesederhanaan itulah yang melahirkan tafsir ini. Tafsir yang tak tunggal bahwa Sebuah Kisah Klasik merupakan lagu perpisahan bagi mereka yang merasa berkarib dengan masa lalu.
Mungkin diriku masih ingin bersama kalian. Mungkin jiwaku masih haus sanjungan kalian.
Budi Warsito, 33 tahun, Kepala Sekolah Kineruku dan pemilik Garasi Opa
“Band ini bakal besar,” kata seorang teman dengan intonasi yakin dan mimik serius, 14 tahun silam, saat lagu-lagu dari album debut Sheila On 7 mulai sering diputar di radio. Saya tertawa meragukannya karena jika lagu Kita yang dijadikan patokan, itu seperti anekdot di siang bolong.
Ketika itu pertengahan 1999, Bandung belum segerah sekarang. Kami berdua sedang belajar mati-matian demi UAS Kalkulus esok harinya. Kata kami mungkin kurang tepat, karena saya lebih memilih mengobrak-abrik rak kaset koleksi teman saya itu ketimbang berkutat soal limit fungsi dan diferensial integral. Saya membawa pulang kaset Sheila On 7, gagal di ujian Kalkulus dan harus mengulang mata kuliah itu tiga kali.
Sejujurnya saya tak pernah sungguh-sungguh memutar kaset pinjaman itu. Televisi sudah menyediakan semuanya. Videoklip Kita tampak konyol dengan Irgi Fahrezi yang tak pernah pantas menjadi Lupus, Mona Ratuliu tampak sedikit ketuaan untuk perannya, Fahrani masih belum terlalu  jangkung dan bertato, dan mereka semua menari-nari penuh tawa, seolah masa remaja berarti musik permen yang kelewat ceria. Dan ya, topi ganjil yang lebih mirip kap lampu bertengger di kepala Duta.
Sementara lagu Dan yang lebih kelam, dengan rambut acak-acakan dan pendar-pendar bohlam yang disentak Duta saat caci maki saja diriku tentu saja lebih menarik perhatian jiwa-jiwa resah usia 19, meski grafik perjalanan emosi saya yang mulai mengkhawatirkan itu justru terselamatkan lewat cara ganjilnya sendiri oleh hits selanjutnya, Anugerah Terindah Yang Pernah Kumiliki.
Intro syahdu lagu Anugerah… itu, seperti banyak orang tahu, sedikit mengingatkan padaFather and Son-nya Cat Stevens, tapi toh Ebiet G. Ade juga sudah menirunya terlebih dahulu di lagu Kontradiksi di Dalam, sebagaimana Mobil Balap Naif berintro sangat miripTrains and Boats and Planes-nya Bacharach (terutama versi The Box Tops), dan Kurt Cobain mencuri riff Killing Joke untuk Kambing Liar, ehm, maksud saya Come As You Are.
Ingatan samar-samar atas lagu Cat Stevens itu (saya pernah harus ikut paduan suara waktu SMP dan beberapa lagu wajibnya diambil dari katalog pra-Yusuf Islam) langsung menyeruak saat mendengar Duta menggumamkan melihat tawamu, mendengar senandungmu dalam tarikan vokal malas-malasan terbaiknya, sebelum disempurnakan diSephia. Sementara di videoklip, senyum manis Dian Sastro yang masih kinyis-kinyis pra-AADC adalah deskripsi akurat untuk terlihat jelas di mataku warna-warna indahmu.
Semua cara klise Cinematography 101 diterapkan demi menghadirkan nuansa dramatis untuk lagu yang sebenarnya sudah cukup dramatis itu. Di satu adegan, kamera bergerak melayang ke atas dan ke bawah. Menyorot Duta berkostum jaring-jaring (!) menengadahkan tangannya ke udara sambil ber-”wuoo…wuoo…” sementara asap dry-icemengepul tipis di sekelilingnya, dan seberkas cahaya menyelinap di antara tiang-tiang besar.
Gebukan drum Anton yang terdengar ragu-ragu di awal lagu (sosok mungilnya tenggelam ditelan drum set-nya sendiri, dan perhatikan gestur uniknya mengayun stik dari agak jauh) terus menanjak mantap dari menit ke menit, dan sempat-sempatnya dia selipkan deru mars sekian detik di pertengahan lagu, seperti ancang-ancang sebelum dihajar bunyi-bunyian string section yang meski lamat-lamat terdengar kian menggila.
Eross mengocok gitarnya dengan leher gitar mendekati lehernya. Adam dengan topi pancing merem melek menikmati permainan bass-nya sendiri, dan kalung rantai Sakti belum berganti menjadi tasbih. Ada yang selalu terasa sejuk dan menenangkan di laguAnugerah…, entah apa itu, yang saya cari-cari selama ini. Semacam puji syukur atas apa yang ada di depan mata? Ajakan untuk tak terlalu keras berusaha? Tatapan penuh arti Dian Sastro memamerkan tulang belikat yang lezat? Dan bukankah kalimat redakan ambisiku / tepikan khilafku dari bunga yang layu terdengar seperti tepukan ramah di bahu yang gelisah?
Mungkin ada masanya ketika saya, atau juga Anda, pernah (atau masih) menyukai Sheila On 7 lantaran mereka kelihatan demikian bersahaja. Musikalitas dan penampilan mereka tidak se-sophisticated KLa Project atau Dewa 19 era itu, tapi juga tidak seculun Tato atau Stinky. Berada di papan tengah klasemen pop kala itu, bukankah yang mereka sodorkan justru cermin besar ke muka para remaja yang sedang menjalani masa transisi: bukan lagi kanak-kanak sekaligus belum pula dewasa?
Boleh jadi selera berpakaian mereka buruk. Potongan rambut yang jauh dari kesan ngartis, juga logat medok Jawa tersembur di sana-sini (menyimak footage wawancara mereka adalah hiburan nostalgia tersendiri). Namun itu yang membuat mereka terasa tak berjarak. Mereka manusia biasa seperti rata-rata kita pada umumnya, atau setidaknya saya, yang kebetulan berumur sebaya dengan Duta dkk.
Ada kecenderungan saya saat itu untuk selalu memantau apa saja yang sudah dicapai orang lain yang seumuran. Album pertama mereka ternyata meledak, disusul ledakan album kedua dan ketiga. Ketika ada kabar salah satu konser mereka di Jogja terpaksa distop aparat karena penonton yang datang terlalu banyak hingga dikhawatirkan rusuh, saya hanya bisa geleng-geleng kepala: ini bukan dangdut, bukan metal, ini pop!
Suka tidak suka, Sheila On 7 telah membuka jalan bagi Peterpan dan Nidji, dan pada akhirnya seluruh band-band KW-an mereka di dekade berikutnya. Tepat seperti ramalan teman saya tadi, mereka telah menggapai ciri-ciri band besar di blantika musik: mencicipi reputasi sebagai satu dari sedikit “band sejuta kopi” di awal dekade 2000-an, Eross sudah memacari Luna Maya jauh sebelum Ariel, konflik internal dipecatnya Anton, Sakti banting setir ke jalan Tuhan, karier Edi Brokoli di TV langsung tamat setelah menulis “F*ck Sheila On 7″ di kaosnya, dan seterusnya dan sebagainya.
Boleh jadi mereka kini sudah tak sebersinar dan berpijar seperti dulu kala, tapi bahwa mereka sempat menemani banyak remaja melewati masa noraknya dan beranjak dewasa, anugerah itu sudah lebih dari cukup.
Dimas Ario, 30 tahun, digital planner
Tanggal 6 Mei Sheila On 7 memasuki usia ketujuh belas. Usia sakral bagi para remaja yang tengah tumbuh. Usia tujuh belas kerap menjadi penanda dari titik tertinggi manusia dalam periode keremajaannya.
Dan bukan kebetulan, saya mengenal Sheila On 7 saat saya berusia tujuh belas. Tepatnya saat duduk di bangku kelas dua SMA.
Saya akan selalu menganggap Sheila On 7 sebagai pengisi soundtrack masa SMA. Walaupun di masa itu, musikalitas saya mulai banyak diisi oleh band-band britpop namun tidak ada lagu-lagu band britpop yang saya dengar kala itu yang dapat menyentuh hati seperti yang dilakukan oleh lagu-lagu Sheila On 7.
Saya dan banyak orang di Indonesia pada akhir 90an mengenal Sheila On 7 gara-gara serial Lupus Milenia yang dibintangi Irgi Ahmad Fahrezi. Lagu Kita digunakan sebagai lagu tema. Pada video klipnya juga, sejumlah pemeran Lupus turut tampil bersama Duta dkk.
Menggunakan single pertama dari album sebuah band baru untuk sebuah serial televisi adalah strategi pemasaran yang jitu. Nama band yang sebelumnya tidak dikenal masyarakat, seketika terkatrol dengan serial yang juga merupakan adaptasi dari seri buku populer.
Kita sendiri adalah lagu yang ramah di telinga. Tidak butuh waktu lama untuk saya dapat menyenandungkan melodi lagu ini. Bagaimanapun, walau telinga saya dapat menerima dengan mudah alunan melodinya,  namun tidak cukup berhasil menggerakkan saya untuk segera membeli album debut dari Sheila On 7.
Sampai akhirnya saya mendengar Dan pada suatu sore di rumah teman SMA saya.
Saat itu teman SMA tengah membeli kaset dari Sheila on 7.  Setelah side A sudah habis, maka ia membalik kaset untuk memutar side B.  Lagu pertama di side B ini yang langsung menarik perhatian saya. Lagu itu berjudul Dan. Dan di hari itu juga, sepulangnya dari rumah teman saya, saya mampir ke toko kaset dekat rumah dan membeli kaset pertama saya dari grup yang sanggup membuat saya jatuh hati.
Dari pertama kali mendengar lagu Dan, saya yakin lagu ini akan menjadi single berikutnya. Dan ternyata dugaan saya terbukti benar.
Lagu Dan memiliki semua elemen lagu balada yang baik: melodi yang enak dan lirik cinta yang bisa diaplikasikan ke banyak kisah kasih manusia. Dan dibuka dengan ritem drum yang sangat khas dari Anton yang dikawal dengan ketat oleh permainan bas dari Adam dan lalu disempurnakan dengan suara cello yang menyayat.
Pada kelanjutannya, album debut dari Sheila On 7 ini kerap saya putar di mobil saat berangkat ke sekolah saat duduk di bangku kelas 2 SMA.  Setiap lagu yang ada dalam album tersebut, selalu mengingatkan saya pada setiap daerah yang saya lalui menuju sekolah.
Jika tahun kedua saya di SMA lekat dengan album debut Sheila On 7, pada tahun terakhir saya di bangku SMA, album kedua Sheila on 7, Kisah Klasik Untuk Masa Depan menjadisoundtrack-nya.
Ada satu lagu dalam album tersebut yang selalu mengingatkan saya pada momen-momen terakhir saya di SMA, yaitu Sebuah Kisah Klasik yang memiliki tema persahabatan pada liriknya. Dan kebetulan saya bersama teman-teman SMA menyanyikan lagu itu dengan lantang pada hari resmi terakhir saya berstatus siswa SMA.
Sungguh sebuah momen yang mengharukan, bernyanyi dengan iringan gitar akustik di kantin yang telah tutup bersama teman-teman yang telah mengisi hari-hari selama tiga tahun terakhir. Semua kisah masa SMA saya dan teman-teman seakan dirangkum dengan cermat pada setiap lirik Sebuah Kisah Klasik.
Saya dan teman-teman SMA saat itu mungkin tidak menyadari sepenuhnya bahwa momen bernyanyi bersama lagu-lagu Sheila On 7 ini tidak akan pernah berulang kembali, seraya kita bernyanyi, “Bersenang-senanglah. Karena hari ini akan kita rindukan. Di hari nanti, sebuah kisah klasik untuk masa depan.
Ibnu Nadzir, 25, peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Pengunjung Youtube pasti sepakat kalau komentar penonton dalam situs ini seringkali jauh lebih pedas daripada kritikus musik paling nyinyir sekalipun. Fenomena tersebut tidakjauh berbeda antara video musik luar maupun dalam negeri. Hal yang sama juga dapat dijumpai dalam kolom komentar band Indonesia yang berkembang pada periode 90-an sampai 2000-an.
Video musik band-band seperti Dewa, Slank, bahkan Jamrud didominasi penonton-penonton seperti ini. Hanya saja kelompok semacam ini memiliki karakteristik yang lebih khusus, yaitu semangat nostalgia. “ Ini baru musik berkualitas, nggak kayak band-band melayu dan  boyband sekarang,” ucap para komentator dengan beragam variasi diksi. Intinya musik zaman sekarang nggak mutu, dan musik pada tahun-tahun lampau lebih bagus.
Saya sebagai bagian remaja tanggung di masa itu sangat yakin soal ini. Ini adalah periode dimana musisi tidak perlu tampan dan berlenggak-lenggok di atas panggung. Ini adalah masa dimana musisi arus utama sekalipun wajib memproduksi musik berkualitas. Dan Sheila On 7 adalah salah satu yang paling menonjol.
Eross, Duta, Sakti, Adam, dan Anton merintis dari Yogyakarta dengan musik sederhana. Pada masa kemunculannya band ini digugat karena kualitasnya jauh dari band-band mapan seperti Gigi, Dewa, atau Slank. Mereka muncul berbarengan dengan Padi yang kualitas teknik musik maupun liriknya terdengar lebih canggih bagi saya. Namun, itu tidak membuat mereka tenggelam. Dengan  pop kacangan  yang mereka usung mereka sanggup menjejak lama sampai tujuh belas tahun seperti sekarang.
Dulu, saya tidak pernah mengaku bahwa saya menyukai band ini. Mereka hanya band terkenal dengan musiknya yang kacangan. Bagaimana mungkin saya mengagumi albumBintang Lima dari Dewa yang penuh dengan orkestrasi rumit tapi pada saat yang sama menikmati Sheila On 7 yang lagunya bisa dimainkan dengan chord sederhana? Namun pada saat yang sama saya tidak bisa membantah Dan begitu melekat di kepala.
Sejujurnya saya bukan pendengar ketat Sheila On 7. Saya tahu sedikit-sedikit mengenai perjalanan karir mereka.Saya juga cuma bisa numpang nyanyi kalau ada yang memainkan lagu Sheila On 7 dengan gitar. Saya cuma pernah beli dua album mereka, Kisah Klasik Untuk Masa Depan dan PejantanTangguh. Tapi cuma sampai situ tingkat kesukaan saya. Seumur-umur saya belum pernah datang ke konser mereka, apalagi sampai memasang poster di kamar.  Namun, saya tidak pernah membantah bahwa Sheila On 7 adalah band penting yang patut dicatat dalam perjalanan musik Indonesia.
Susah untuk tidak ikut bersenandung saat  mendengar lagu-lagu Sheila on 7. Solusinya adalah menyukai Sheila On 7 secara diam-diam. Saya resmi menjadi pemuja rahasia. Mereka seperti punya rumus rahasia dalam membuat lagu yang mudah melekat di kepala. Alhasil lagu yang saya suka secaradiam-diam pun bertambah sedikit demi sedikit.
Kesukaan saya juga dipengaruhi oleh banyak alasan lain di luar lagu. Lagu J.A.P sangat saya nanti-nanti karena Dian Sastro. Kita begitu penting karena menjadi soundtrack dari sinetron Lupus yang saya ikuti dengan setia. Namun, alasan terpenting mengapa lagu Sheila On 7 penting diingat karena itu juga menjadi penanda momen hidup.
Seperti sebagian besar remaja tanggung lainnnya, saya mengaitkan lagu dengan momen-momen dalam hidup. Tak peduli musisi itu bercerita tentang apa namun, rasanya lagu itu berhubungan dengan hidup saya. Sahabat Sejati adalah lagu yang sukses membuat saya melankolis pada masa kelulusan SMP. Pada periode berikutnya, lagu Berhenti Berharapselalu cocok didengarkan ketika pikiran lelah dengan tubuh yang siap menghempas ranjang.
Intinya, mereka punya kontribusi penting yang tidak bisa dinafikan. Dari sekian banyak kontribusi yang bisa saya sebut tadi, yang saya ingat kalaupun bukan perintisnya, Sheila On 7 berjasa mempopulerkan penggunaan nama orang dalam lagu. Hari ini lagu-lagu semacam ini biasanya terdengar sangat murahan dengan lirik yang ngawur.
Jauh sebelum Andhika membawakan Yolanda, Duta dan teman-temannya bercerita mengenai kakak dalam Perhatikan Rani. Pada waktu yang lain, Sheila On 7 membuat lagu tema bagi selingkuhan seluruh nusantara dalam Sephia. Namun, bagi saya lagu terbaik dalam tipe ini tentu saja Khaylila’s Song. Dengan aransemen ala Timur Tengah, lagu ini mengangkat pesan perdamaian dengan lirik yang sangat kuat. Bagi saya lagu ini jelas salah satu lagu terbaik yang mereka punya. Sulit juga untuk membayangkan band pop arus utama sekarang menciptakan lagu sekelas ini.
Mohon maaf kalau saya harus ikut nyinyir dan bergabung dengan penonton Youtube yang bernostalgia bersama musik apik Sheila On 7.
Lidwina Mutia, 26 tahun, asisten dosen jurusan Ilmu Komunikasi UGM dan pemilikpet shop Gilford Kennel
Lagu Dan adalah magnet yang yang menjangkau saya untuk merogoh dalam uang jajan saya, dengan sedikit merayu ibu untuk diantar ke toko kaset sebelah swalayan Mirota Kampus, Yogyakarta untuk membeli album Sheila On 7 yang pertama.
Sampai di rumah, kasetnya saya putar berulang kali sampai pita kasetnya keriting. Itu juga karena saya hobi me-rewind untuk kembali ke track Dan. Walaupun Kita lebih dulu sering saya dengar di radio, Dan menurut saya nampol tenan. Saya baru berganti seragam dari putih merah ke putih biru,belum mengerti pahit getirnya relasi percintaan, namun saya sudah berpikiran lirik Dan sungguh menyayat.
Apalagi video klipnya dengan setting ruang nan gelap hanya diterangi bohlam menggantung disana-sini. Duta yang waktu itu masih setia dengan rambut belah tengah memposisikan dirinya untuk di-caci maki saja diriku dan di-lupakanlah saja diriku oleh orang yang sudah ditinggalkan. Ngenes.
Memang sudah selayaknya, tapi sebagai perempuan Dan berhasil menurunkan ego laki-laki yang biasanya kegedean gengsi. Saya leleh mendengarnya. Ditambah lagi dengan alunan string di awal lagu, membuatnya masuk dalam list lullaby dan juga lagu pengantar mewek saya.
Keep up ur good, great works, om om temen-temennya Sheila!
Luhki Herwanayogi, 24 tahun, sutradara
Usia 17 tahun adalah sebuah usia yang dianggap menjadi batas seorang manusia beranjak dewasa. Angka 17 bukanlah angka yang panjang untuk sebuah umur, namun angka ini menjadi sebuah angka yang penting untuk sebuah kehidupan. Angka dimana manusia mulai menyatakan keinginan, hasrat, cita, dan cinta. dalam sebuah cinta, terkadang ada satu hal menakjubkan yang menjadikan alasan cinta kita tertuju
Kau beri dan kau bagi, semua marah dan candamu, ku harap hanya untukku…
Sepenggal kalimat menakjubkan dari rentetan tanya tentang cinta, terbalut menakjubkan dalam sebuah Tanyaku yang dimiliki oleh band besar yang kini melangkah menuju angka 17. Tanyaku adalah satu hal menakjubkan yang hingga kini masih tetap menakjubkan.
Tumbuhkan nyaliku, tuk nyanyikan kepadamu, aku cinta…
Aku cinta pada setiap untaian kata-nya. Aku cinta pada setiap titian nada-nya.
Lutfi Rakhmawati, 26 tahun, jurnalis The Jakarta Post
Sebagai pendengar musik yang oh-biasa-saja, saya nggak begitu banyak mendengarkan berbagai macam penyanyi . Di satu sisi, ini menjadikan saya cupu. Di sisi lain, ini menjadikan saya fans yang tidak mudah pindah ke lain hati dari idolanya. Sheila On 7 salah satunya.
Banyak lagu Sheila On 7 yang kece. Tapi yang membekas di hati adalah Berai. Tahun 1999, saya masih awal masuk SMP. Hal pertama yang saya suka dari Berai adalah intronya oh aduhai sekali.  Saya gak terlalu paham arti lagunya (what a happy-go-lucky 12 years old girl knew about “kemasi kasih sayang”). Tapi saya ingat. Saya terkesan betul sama judulnya dan pergi ke perpustakaan untuk cari tahu arti kata Berai.
Bertahun-tahun, lagu itu tetap jadi favorit. Tapi baru sekitar tahun 2005 sampai 2006 lagu itu menemukan konteksnya yang pas. Waktu saya terpaksa mengemasi kasih sayang. Enam tahun mendengarkan Berai, baru kali itu saya nangis-nangis sejak bait pertama. Oh betapa menyakitkan sekaligus melegakan tiap kali mendengarnya. I call it beautiful irony.
Tahun 2013, Berai masih jadi lagu Sheila On 7 paling spesial, bagaimanapun kondisi saya saat ini.
Manan Rasudi, 29, sebentar lagi pengangguran
Sheila On 7 itu band bagus yang sayangnya menghampiri pada saat yang sangat tidak tepat. Tahun 1999, ketika self titled mereka dirilis, saya dalam puncak gelora perubahan biologis. Hormon sedang mendidih, suara mulai berubah, dan selera musik juga masuk masa pancaroba.
Demi  dianggap cowok sejati, saya yang baru saja lulus dari album Boyzone, Backstreet Boys, dan Ultra tengah mencari musik yang cowok banget. Waktu itu pilihannya ada tiga: mendengarkan olahragawan cum musisi seperti Yngwie Malmsteen, menjadi anakunderground yang menyembah kompilasi metalik klinik atau menjelma menjadi penggemar Nirvana atau Greenday kesiangan. Saya memilih opsi ketiga.
Dengan tiga pilihan yang tersedia, Sheila On 7 mustahil saya dengarkan. Logikanya, kalau musisi se-proficient Dewa 19 dalam formasi Pandawa Lima sekalipun saja tidak dianggap, apalagi Sheila On 7 yang kala itu dianggap tidak becus main musik. Pasti tak masuk hitungan. Malah kalau mau lebih ekstrim, Sheila On 7 sudah distempel haram demi sebuah kejantanan semu ala anak SMP. Titik.
Saya kerap berlagak tak suka kalau Dan yang tengah ngetop-ngetopnya mengalun darisoundsystem seadanya di angkot menuju SMP tercinta. Saya pernah memindahkanchannel TV kala video klipnya diputar. Padahal, kalau diingat-ingat model video klip Dan itu sungguh menggugah bagi saya yang baru dewasa secara biologis. Namun apa mau dikata, saya harus tetap istiqomah dalam meniti karir menjadi pemuda sejati berselera musik sangar. Walhasil yang menggugahpun saya lewati , dengan berat hati tentunya.
Toh sekukuh apapun saya menjaga kuping dari musik haram Sheila On 7, pada akhirnya pertahanan saya jebol juga. Adalah Suci, teman karib sekaligus tetangga lima langkah saya, yang “memaksakan” Sheila On 7 pada saya lewat obrolan tentang ulangan, guru yang menyebalkan dan gosip cinta monyet ala anak SMP. Sheila On 7 mulai merembes ke kuping saya. Lagi-lagi Dan coba dijejalkan suci pada kuping saya. Hasilnya: nihil. Alasan: lirik Dan terlau menye-menye dibanding lirik Bendera Kuning milik Betrayer yang pastinya, ehem, cowok banget.
Semua baru berubah ketika suatu saat mengalun J.A.P. Sembari diiringi ocehan Suci tentang begitu charming-nya Duta betapapun medok logat Jawanya, saya cuma bisa terperangah dari awal lagu ini dimainkan.
Intronya sungguh sloppy, kotor dan urakan. Jelas ini menarik saya yang memilih identitas sebagai penggemar grunge kesiangan. Premisnya, makin urakan seperti Nirvana dan Greenday makin asik. Walhasil, jauh di lubuk hati sana, saya tak bisa membantah bahwa Sheila On 7 bisa juga terdengar grungy sekaligus sangat laki-laki.
Sejak saat itu, J.A.P kerap saya senandungkan dimanapun, tentunya jika saya tidak sedang berkerumun dengan komunitas metal atau grunge saya. Diam-diam, saya berhenti menyenandungkan lirik cinta ala Nirvana di About A Girl. Perlahan-lahan, saya belajar menyenandungkan jadikanlah aku pacarmu kan kubingkai selalu indahmu jadikanlah aku pacarmu iringilah kisahku ketika cinta monyet saya, si gadis mungil jua cerdas yang bermata besar dan bersuara lirih, lewat. Sayangnya, selirih suara gadis itu, sepelan itu pula saya menyanyikan reffrain J.A.P di depan dia. Saya melakukannya dalam hati saja.
Jelas, mau tak mau saya akui Duta dkk., lewat lirik J.A.P,  jauh lebih cowok dari Kurt Cobain, Billy Joe Armstrong, dan tentunya saya.
Nuran Wibisono, 26, penulis isu musik dan traveling, mahasiswa pasca sarjana Kajian Pariwisata UGM
Saat Sheila On 7 merilis album perdana saya dan kawan-kawan satu sekolah berasa terkena euforia. Semua teman sekelas saya seringkali menyanyikan Dan atau Kita. Saya yang waktu itu sedang menggemari Skid Row dan Motley Crue pun harus rela berpindah hati sebentar. Memang susah menolak pesona Sheila On 7 kala itu. Nada musiknya yang akrab dengan kuping, liriknya lugas, dan ini yang penting: gadis gebetan saya suka sekali dengan Sheila On 7.
Serangan tidak berhenti sampai disitu. Puncaknya, saya rasa, adalah pada tahun 2000 saat mereka merilis album Kisah Klasik Untuk Masa Depan. Sampai sekarang, saya menganggap kalau album itu adalah pencapaian terbaik Sheila On 7. Musik mereka jadi jauh lebih matang ketimbang album debutnya.
Selain Sephia, album ini  punya banyak sekali amunisi yang mumpuni. Tapi herannya, saya malah jatuh cinta berulang kali dengan sebuah lagu yang sama sekali tidak dilirik oleh kawan-kawan saya, yakni lagu Just for My Mom. Entah kenapa saya suka sekali dengan lagu itu. Tapi setelah sekarang saya pikir lagi, saya menemukan beberapa alasan kenapa saya suka lagu itu.
Alasan pertama adalah lagu ini jadi lagu berbahasa Inggris pertama dari Sheila On 7. Kebetulan, saat itu saya sedang getol-getolnya belajar Bahasa Inggris. Segala lagu berbahasa Inggris saya catat liriknya, saya pelajari cara pengucapannya, saya cari artinya, dan berusaha saya hafalkan hingga di luar kepala. Dan lagu ini sangat membantu saya dalam belajar Bahasa Inggris.
Alasan kedua adalah untuk menandingi kepongahan Imam Wahyudi, kawan kental saya sedari kelas 1 SMP. Imam yang sekarang jadi penabuh kendang pada sebuah orkes dangdut di kota Jember ini adalah pecinta berat Sheila On 7. Ia hafal sekali semua lagu-lagu Sheila On 7.
Suatu hari ketika bergelayutan di pintu angkutan umum yang penuh sesak, Imam pamer pada saya. “Aku apal kabeh lagu-lagune Sheila On 7 mulai album pertama sampe sing saiki (aku hafal semua lagu-lagunya Sheila On 7 dari album pertama sampai album yang baru),” katanya unjuk gigi. Saya panas. Lalu saya tembak, “Coba nyanyio sing Just for My Mom (coba nyanyikan Just For My Mom).”
Imam langsung cengengesan macam pemuda yang kepergok orang tua menonton film bokep. Saat itu Bahasa Inggris memang jadi momok yang menakutkan bagi kawan-kawan sebaya saya. Ia jelas tak hafal lagu itu, dan bahkan ia mengaku tak pernah mendengarkan lagu Just For My Mom  sama sekali.
Alasan ketiga, tentu karena ini lagu tentang ibu. Tema yang  jarang diambil oleh band-band pop saat itu, bahkan sampai sekarang. Termasuk Sheila On 7 sendiri. Karena itu, sebagai anak yang sayang ibu, saya suka sekali dengan lagu Just For My Mom. Selain itu, lagu ini dikemas dengan nada yang riang gembira. Mengingatkan saya akan kegiatan ibu masak nasi goreng untuk sarapan anak-anaknya, dan sang anak lahap memakan nasi goreng penuh cinta itu.
Putri Setianingtyas, 26 tahun,  anggota Sheila Gank  periode 2005-2008. Bankiryang senang bukan kepalang kalau di-mention @Duta507
Seperti teh hangat di sore hari plus sajian pisang goreng. Salah satu aja udah nikmat, apalagi dua-duanya. Lengkap. Seperti itulah lagu Dan dan Sheila On 7 di hidup saya. Secara tampilan mereka sungguh sederhana, tapi untuk musikalitas, buat saya mereka luar biasa.
Lagu ini identik. Tipikalnya Sheila On 7 banget. Kalau ingat Sheila on 7, langsung inget kemunculan mereka di tahun ’99 saat Dan begitu populer di radio-radio. Zaman itu belum kenal YouTube bro. Tiap sore rajin banget nongkrong di depan radio nunggu lagu ini diputar. Kalo kelewatan atau cuma kebagian buntut lagunya, rasanya getun (menyesal) banget.
Sesungguhnya, susah sekali  buat saya kala harus memberi predikat terfavorit hanya pada satu lagu dari sekitar 84  lagu Sheila On 7. Saya gak mau dibilang “emban cinde emban ciladan”, pepatah Jawa yang bermakna pilih kasih. Tapi pilihan sudah saya tentukan. Dansudah menempati ruang tersendiri di hidup saya. Sama halnya dengan Sheila On 7, yang lebih dari sekadar idola. Mereka teman hidup saya.
 Lagu ini mungkin akan tetap keren saat dinyanyikan orang lain, tapi rasanya kurang sempurna. Sheila On 7 dan Dan adalah klop, pas banget. Mereka itu satu. Nyawa band ini ada di lagu tesebut. Setiap dengar lagu ini apalagi versi live-nya, saya selalu merasa merinding.
Dan, simpel, tiga huruf saja. Tapi kekuatannya luar biasa untuk hidup saya Bahkan saya sempat mikir, jangan-jangan ini lagu ada pelet atau sihirnya. Sirep kalo kata orang Jawa. Didoakan apa coba lagu ini sampai bisa ajaib begini. Dan satu lagi, lagu ini tak lekang dimakan zaman. Dari jaman saya SD sampe sekarang. Sudah 14 tahun. Tak terasa, para bapak ini udah hidup dan menghidupi Sheila On 7 selama 17 tahun.
Saya yakin Gusti Allah menciptakan sesuatu tidak untuk dibilang kebetulan. Semua pasti sudah diatur. Begitu pun perkenalan saya dengan Sheila On 7. Susah senang, sehat sakit, atau saat untung dan malang. Sheila On 7 cocok dinikmati dalam berbagai suasana.
Ya seperti itu tadi, ibarat teh hangat dan pisang goreng. Di tengah trend makanan modern masa kini mulai dari cup cake,  sushi sampai takoyaki, pisang goreng tetap nikmat dinikmati. Walaupun menu sederhana tapi punya sensasi tersendiri. Begitu pula Sheila On 7. Sederhana tapi energinya istimewa. Bahkan diberbagai zaman.
Salam dari Sheila Gank cabang Candi Gebang.
Pythagora Yuliana, 24 tahun, wiraswasta dan ibu satu anak
Pada masa keemasan Sheila On 7 saya justru tidak menyukai mereka. Seringkali saya mengejek personelnya yang tidak bertampang rupawan dan dimana-mana berkumandang lagu mereka. Di radio, MTV, pengamen, sampai mas-mas yang nongkrong sambil gitaran.Pokok e njelehi lah (Pokoknya menjijikkan lah).
Saya ingat betul teman SMP saya. Namanya Ana. Penggemar berat Sheila On 7. Tiap istirahat atau jam kosong, dengan telaten dia menulis apapun tentang Sheila On 7 di sebuah buku khusus. Buku itu tiap lembarnya bertuliskan lirik lagu-lagu Sheila On 7 dihiasi potongan-potongan gambar para personelnya hasil guntingan dari koran atau majalah.
Dengan kreatifitas yang pas-pasan, dia membuat gambar bunga, akar-akaran, atau kupu-kupu dengan spidol warna-warni. Saya hanya geleng-geleng, tapi dalam hati saja, tiap kali melihat Ana dan buku saktinya itu.
Beberapa tahun kemudian saya kembali bergaul dengan penyuka Sheila On 7. Kadar kecintaan orang ini terhadap Sheila On 7 mungkin tidak sedalam Ana. Tapi, tiap saya menyinyiri Eross yang bertampang seperti penjual bakso tusuk yang mangkal di SD itu, orang ini pasti melakukan pembelaan. Hebatnya, pembelaanya terstruktur. Dimulai dari musikalitas Eross, kemudian melebar ke kejayaan Sheila On 7, lagu-lagu terdahulu dan yang paling anyarnya yang menurutnya bagus bagus semua. Saya seringkali menyebut dia Tim Pembela Eross. Dan orang itu adalah orang yang mencintai dan dicintai saya. Bapak dari anak saya. Ya, anda betul. Suami saya.
Semenjak bersuami, saya diam-diam menyadari. Saya hafal mayoritas lagu hits Sheila On 7. Ingat videoklipnya. Dan bagian ini yang paling penting. Entah mengapa saya selalu begitu terhanyut saat Dan diputar. Lirik, vokal, serta harmonisasi nada selalu mampu membuat saya mendadak melankolis. Mungkin karena saat jaman muda, saya ini tipeplayer. Jadi saya bisa merasakan emosi dalam liriknya. Maafkan saya ya ribuan pria di luar sana yg merasa saya patahkan hatinya. Dan sejujurnya, saya tidak punya banyak penjabaran dan alasan untuk memilih Dan sebagai lagu Sheila On 7 terfavorit saya. Dan  = hanyut. Titik.
Rahmat Arham, 23 tahun, penggiat situs Gigsplay. Mahasiswa program studi Sistem Informasi yang erakhir pekan untuk sebuah perpustakaan di Bandung
Lagu Sheila On  7 yang saya kagumi  sampai sekarang  ada di album pertama mereka. Album itu  juga merupakan album pertama yang saya beli.  Sambil menunggu lagu pertama, saya melebarkan isi kover yang berisi tulisan “thanks to” dan lirik-lirik lagu. Ada beberapa kata yang dijadikan judul dan baru pertama kali saya baca: BobrokPe De,Berai, dan Tertatih.
 Nah, judul yang disebutkan terakhir merupakan lagu pertama di album Sheila On 7 sekaligus lagu favorit, kesukaan, kekaguman, dan seterusnya bagi saya dari keseluruhan album yang mereka rilis. Saya menjadikan itu sebagai lagu favorit setelah menyimak satu putaran keseluruhan album tersebut. Jadi, saya  membeli kaset pertama kali untuk album pertama Sheila On 7 dan menyukai lagu pertama di album tersebut.
Tertatih menurut saya merupakan lagu yang menonjolkan agresifitas Sheila On 7 di album pertamanya, selain Bobrok. Kocokan gitar Eross di pembuka lagu menjadi penanda bahwa album ini begitu seksi di arus musik utama Indonesia. Suara Duta yang masih belia tampil beriringan dengan aduan gitar Eross dan Sakti yang secara sengaja memain-mainkan tempo. Adam memberi ciri lewat bass line sebelum lirik pertama dilantukan. Makin kelihatan saat bagian refrain. Adam dan Anton sengaja diberikan porsi masing-masing sebelum dilengkapi dengan melodi Eross dan Sakti.
Saat itu saya masih delapan tahun, masih susah mencerna liriknya. Baru saya coba baca ulang lirik tadi saat mulai remaja. Pun sampai sekarang saya masih bingung untuk menafsirkan lirik besutan Eross ini. Yang dapat saya terjemahkan dari lagu ini secara umum adalah kendali perasaan secara sadar ketika menginginkan sesuatu hingga menjadi mimpi. Untuk menjadikan mimpi tersebut ada proses yang dilalui. Ini adalah proses di mana semuanya menjadi lambat untuk dicapai dan digapai. Namun,kata mereka, “Walau tertatih walau tercabik khilafkan putih hanya kau mimpiku.”
Kalau bukan surat cinta ini, mungkin saya sudah lupa kapan terakhir kali menyimakTertatih. Albumnya masih tersimpan di rumah saya di Makassar. Rumah yang selalu menemani saya mendengarkan album-album Sheila On 7 di ruang tengah keluarga pada hari Minggu sebelum menonton film kartun.
Terimakasih Sheila On 7 telah menemani kehidupan musik saya yang dimulai sejak umur delapan tahun. Kalian sudah remaja, sudah bisa menentukan keinginan tentang hidup. Begitu banyak kisah klasik yang kalian haturkan. Asal jangan menentukan arah untuk menjadi generasi patah hati. Semoga umur kalian akan bertambah terus hingga saat lanjut usia. Tidak akan berhenti berharap sebelum mengetahui bahwa ada waktu yang tepat untuk berpisah.
Wening Gitomartoyo, 34 tahun, wartawan Rolling Stone Indonesia
Susah sekali memilih hanya satu di antara banyak lagu Sheila On 7 yang saya suka. Tapi karena dipaksa sama yang punya warung ini, saya menjatuhkan pilihan pada Sebuah Kisah Klasik. Saya suka lagu ini karena dia apa adanya, baik dari tema lirik maupun musik. Apa adanya dalam arti bicara tentang sesuatu yang sudah biasa tapi tetap punya greget. Baris pertamanya saja sudah suram, “Jabat tanganku mungkin untuk yang terakhir kali.” Baru saja mulai, sudah mau berpisah. Kalau kata orang Muntilan, “C’est la vie.” Begitulah hidup.
Melodinya memang sialan. Sekali dengar, paling tidak buat saya, langsung bikin kepincut. Musiknya pas sekali. Tidak kurang dan tidak berlebihan. Ada rasa akustik tapi juga instrumen gesek yang membuat hati rasanya serrr. Ada rasa sedih tapi juga haru.
Mungkin itu yang membikin saya agak gimana dengan lagu ini. Bahwa hal-hal yang wajar tidak selalu berarti ia tidak sukar dilakukan. Perpisahan akan selalu ada, tapi ya tetap susah menerima dan menjalaninya, tapi ya harus dilakukan. Duta bernyanyi, “Semoga kita selalu menjadi kisah klasik untuk masa depan.” Yang sekarang sudah dulu. Tidak akan berlanjut, tapi akan disimpan dengan baik dan tidak apa jika sesekali ditengok untuk bekal masa depan.
Wisnu Martha Adiputra, 39 tahun, dosen jurusan Ilmu Komunikasi UGM, penikmat media dan budaya populer
Ketika awal kemunculan mereka, sebenarnya saya tidak memperhatikan. Sama halnya dengan musik Indonesia. Saya baru memperhatikan musik Indonesia dengan lumayan mendalam dan mencintainya dengan tulus pada tahun 2007.
Walau tidak memperhatikannya dengan sungguh-sungguh, siapa yang tidak mengenal Sheila On 7?. Ketika saya dan dua orang rekan sedang riset di Pontianak pada tahun 2000, anak pemilik rumah di mana kami tinggal yang waktu itu masih duduk di SMP meminta kami menyampaikan salam pada personel Sheila On 7 karena tahu kami juga berasal dari Yogyakarta. “Kalau sudah pulang ke Yogya, salam sama Sheila On 7 ya Bang,” katanya.  Kami hanya mengiyakan demi melihat wajahnya yang polos dan begitu antusias.
Saya juga tahu lagu Sephia begitu populer sampai-sampai secara generik Sephia menggantikan istilah gadis gebetan selain pacar. Saya juga tahu bahwa lagu-lagu dari album Pejantan Tangguh, terutama Itu Aku, seringkali saya dengar pada tiap pentas musik di kampung. Namun untuk mendalami lagu-lagu sebelum tahun 2007 saya sepertinya kehilangan momen.
Begitu saya menyukai musik Indonesia, salah satu band yang langsung saya akses seluruh albumnya adalah Sheila On 7. Berbeda dengan album yang kita akses saat album tersebut populer, album yang kita akses di luar waktu rilisnya akan memberikan pengalaman memaknai yang berbeda.
Baru pada dua album Sheila On 7 terakhir saya lumayan mendalami dan mengakses lagu-lagu mereka. Memaknai lagu-lagu mereka secara otentik, langsung berelasi dengan kehidupan yang saya jalani. Dari dua album terakhir mereka awalnya saya bingung memilih lagu “ter-muaach di hati ” bagi saya.
 Ada tiga lagu yang mengena di hati, yaitu Betapa  dan Mudah Saja dari albumMenentukan Arah  tahun 2008. Album yang menjadi semacam manifesto personal mereka untuk terus berada pada jalur yang mereka pilih. Satu lagu lagi adalah Hari Bersamanya dari album terakhir tahun 2011, Berlayar. Lagu ini yang kemudian saya pilih karena memang berkesan sekali bagi saya.
Ada sebuah untai kata anonim yang menarik, “jangan pernah menyalahkan hari dalam hidupmu! Hari baik memberikan kebahagiaan. Hari buruk memberikan pengalaman. Hari terburuk memberikan pelajaran. Dan, hari terbaik memberikan kenangan.” Hari-hari terbaik antara lain adalah hari di mana kita bersama dengan orang yang kita cintai dengan mendalam. Hari di mana kita bisa antusias atau gugup ketika bertemu dengan pujaan hati, namun hari-hari itu semestinya ada pada tiap orang yang saling mengiyakan untuk bersama.
Syair lagu ini memang tidak menunjukkan diri yang optimis ketika mencintai orang lain seperti pada lagu Itu Aku atau diri yang sedikit ragu-ragu namun tetap bernuansa yakin dengan diri seperti pada lagu Seberapa Pantas. Atau bahkan sangat meyakinkan namun tetap “gagap” seperti dalam salah satu lagu kesukaan saya sepanjang masa, Romeo and Juliet dari Dire Straits. Petikan liriknya begini: you and me babe, how about it?
Zaman memang berubah, kita bisa berharap pada relasi cinta namun mari kita serahkan pada hari atau konteks waktu di mana relasi itu berada. Lirik lagu Hari Bersamanya terasa pas ketika saya mendengarkannya. Bagi saya, Hari Bersamanya adalah pengalaman tekstual dan kontekstual yang bertemu.
Hal lain yang menarik di dalam lagu Hari Bersamanya ini adalah bahwa dalam relasi dengan orang yang kita cinta dalam wahana bernama hari. Simak petikan, “Mohon Tuhan untuk kali ini saja, beri aku kekuatan, tuk menatap matanya. Mohon Tuhan untuk kali ini saja, lancarkan hariku, hari bersamanya. 
Jarang sekali, atau mungkin tak ada, lagu cinta ciamik yang membawa-bawa Sang Pencipta. Biasanya orang-orang yang berelasi dalam konteks cinta cenderung melupakan Tuhan. Religiusitas yang mendalam memang asyiknya dibawa ke dalam relasi, bukan pada konflik.
Ketika menulis ini saya mendengarkan lagu-lagu Sheila On 7 dan berharap dapat memaknai ragam teks dengan makna lain. Seperti kita ketahui, dalam kajian teks media harapannya kita memiliki polysemia pada akhirnya, yaitu kualitas keberagaman pemaknaan yang membantu kita dalam hidup. Memahami banyak teks musik populer membantu saya mendalami profesi saya. Untuk itu saya berterima kasih pada Sheila On 7 sebagai salah satu produsen teks. Terima kasih dan selamat ulang tahun ke-17. Salam hangat dan sukses selalu.

HONORABLE MENTION

Hasief Ardiasyah, lebih tua dari Duta, Sakti dan Brian, belum setua Anton, Adam dan Eross, Associate Editor Rolling Stone Indonesia
Di era Twitter ini, rasanya masing-masing album Sheila On 7 dapat diberikan sinopsis singkat yang muat dalam 140 karakter.
Sheila On 7 (1999)Album debut yang langsung mengesankan.
Kisah Klasik Untuk Masa Depan (2000): Penyempurnaan dari album debut yang langsung mengesankan.
07 Des (2002): Keseimbangan yang pas antara kepentingan komersial dan eksperimental.
30 Hari Mencari Cinta (2003): Kumpulan lagu baru dan lagu lama untuk sebuah film yang lebih berkesan dibanding film itu sendiri.
Pejantan Tangguh (2004): Eksperimen yang mungkin terlalu berani untuk zaman dan segmennya.
Jalan Terus – The Very Best of Sheila On 7 (2005): Langkah panik untuk merangkul kembali mereka yang dibuat takut oleh Pejantan Tangguh.
Menentukan Arah (2008): Kembali ke jalan yang benar.
Berlayar (2011): Masih berlayar di jalan yang benar.
Sebentar, rasanya ada yang belum disebut. Betul sekali, masih ada 507, yang keluar setahun setelah Jalan Terus. Ini mungkin bisa dibilang album Sheila On 7 yang terlupakan. Kalau bertanya ke para anggota Sheila On 7 sekarang, mereka akan berkata bahwa era album ini adalah titik rendah mereka. Gitaris Saktia Ari Seno mengundurkan diri di awal proses rekaman; komunikasi antar personel sedang jelek; Brian Kresna Putro, yang baru diangkat menjadi anggota setelah mengisi kekosongan drummer menyusul keluarnya Anton Widiastanto dua tahun sebelumnya, mungkin bertanya-tanya apakah semua ini setimpal.
Album yang dihasilkan pun tak mampu mengangkat nama mereka kembali ke deretan band papan atas di Indonesia yang ketika itu diambil alih oleh Peterpan, Radja dan Samsons, padahal 507 berisi banyak materi yang jauh lebih mudah dicerna daripada apa yang ada di Pejantan Tangguh. Dalam konser ulang tahun ke-16 Sheila On 7 pada 18 Mei 2012, di antara 39 lagu yang mereka bawakan, yang dari 507 hanya Terlalu Singkat dan sepotong Kau Kini Ada; bahkan Pejantan Tangguh mendapat jatah lebih banyak. Entah disengaja atau tidak, minimnya jatah itu secara implisit menegaskan posisi 507 di mata Sheila On 7, dan mungkin juga di mata penggemar dan pendengar mereka.
Padahal menurut saya 507 tak sejelek itu. Memang bukan album terbaik mereka (bagi saya pribadi, 07 Des adalah yang terbaik), tapi dengan lagu-lagu seperti RadioMantan Kekasih dan Cahaya Terang, seharusnya bisa sukses daripada kenyataannya. Seharusnya di antara lagu-lagu itu masih ada yang masuk dalam penampilan-penampilan mereka sekarang.
Lalu ada Ingin Pulang. Saya takkan bilang ini lagu terbaik yang pernah ditulis oleh Eross Candra, karena memang bukan; Adam Subarkah adalah penciptanya. Saya juga takkan bilang ini lagu favorit Sheila On 7 saya, karena favorit saya tergantung suasana hati, dan tak ada juga memori pribadi tertentu yang melekat padanya.  Kalau bicara karya-karya brilian Sheila On 7 semacam Seberapa Pantas atau Pejantan TangguhIngin Pulangbelum tentu layak disebut dalam percakapan itu.
Namun ada suatu daya tarik tertentu pada Ingin Pulang, yang dibuat Adam saat merindukan keluarga di tengah-tengah tur panjang, pada era ketika band-band Indonesia masih melakukan tur panjang puluhan kota tanpa henti. Walau kita belum pernah tahu bagaimana rasanya menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk mendatangi kota-kota yang kita tak pernah tahu namanya di antah berantah Nusantara, tapi Adam mampu menuangkan rasa kangen rumah itu dengan cara yang dapat dipahami siapa pun. Musiknya tak serumit Seberapa Pantas atau Pejantan Tangguh, tapi memang tak harus serumit itu. Nuansanya yang santai dengan isian piano yang menonjol menjadi pasangan serasi bagi lirik yang menggambarkan suasana sendirian di kamar hotel pada malam hari, dengan pintu telah terkunci, lampu telah mati.
Walau aransemen lagunya relatif sederhana dan durasinya pendek (hanya 3 menit 34 detik), tapi Sheila On 7 masih mampu memainkan emosi pendengar. Kita dapat merasakan keputusasaan saat Akhdiyat Duta Modjo menyanyikan, “Ku ingin kau tahu, ku getar merindukanmu, hingga pagi menjelang” yang diakhiri secara menggantung dengan rintihan, sebelum muncul rasa optimis pada penutupan lagu yang ditandai petikan gitar yang riang oleh Eross – padahal kalau kita menyimak liriknya, sang protagonis belum pulang, dia hanya terlelap dan mimpi tentang pulang (tak ingin terjaga sampai aku pulang). Terciptalah efek psychedelic tanpa mencoba memainkan musik psychedelic secara eksplisit, seperti yang mereka lakukan sebelumnya lewat Ketidakwarasan Padaku pada album Pejantan Tangguh.
Di titik terendah pun, mereka masih bisa membuat karya seperti Ingin Pulang yang terdengar sangat Sheila On 7, tanpa harus tunduk pada entah tren apa yang berlangsung ketika itu agar kembali menaikkan nama. Inilah yang membuat saya tetap yakin dengan Sheila On 7 ketika mereka sudah dianggap fenomena yang sirna oleh banyak pihak, dan membuat saya yakin dengan mereka sampai sekarang, di usia band yang sudah 17 tahun. Mungkin suatu saat saya bisa menyaksikan Sheila On 7 membawakan Ingin Pulang.  Saya belum berhenti berharap.
Sah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar