Sakit sekali.
Dadaku rasanya sesak sekali.
Jam 08.00
“Aku harus bangun pagi.” pikirku semalam. Aku dimintai
tolong untuk membuatkan template brosur untuk tugas UAS nya. Aku tidak mau
mengacaukan jadwalnya yang sedang melaksanakan UAS. Sudah cukup banyak
kekacauan yang aku buat hingga dia tidak bisa konsentrasi dalam menghadapi
ujiannya kali ini.
Jam 10.00
Ada pesan masuk darinya, menanyakan apakah sudah selesai
atau belum. Belum jawabku, masih ada beberapa hal yang harus disusun. Aku meminta
tambahan waktu 10 menit. Untuk memberikan background kataku.
Sudah 20 menit sejak pesannya masuk menanyakan tugasnya. Aku
masih belum selesai menyusunnya.
Dan lagi, ternyata pagi ini aku mengacaukan jadwal
pengumpulan tugasnya yang seharusnya dikumpulkan pagi ini. Membuatnya harus
pergi ke kost temannya karena sudah ditinggal pulang dari kampus. Aku paham kalau
memang dia marah denganku pagi tadi. Karena memang akunya sendiri yang
keterlaluan.
Jam 12.11
Ada pesan masuk darinya. Menggunakan emoticon tertawa yang
ada cipratan air matanya. Sebuah hal yang sederhana namun bisa membuat ku ikut
tersenyum dengan adanya emoticon tersebut. Setidaknya dia sudah bisa tertawa
lagi. Pikirku.
Aku kemudian membalasnya dengan bersemangat juga. Bahkan
langsung berpikir membuat rencana hari ini sepulang mengantarkan Mbak ku
bekerja.
Jam 12.22
Pesan masuk darinya yang terakhir siang tadi, aku
membalasnya jam 12.35. Setelah itu semua hal itu terjadi.
Aku pergi mengantarkan Mbak ku bekerja, sembari membuka Instagram
dan WhatsApp, dan Twitter. Rupanya ada salah seorang temanku yang menjual sepatunya
karena size-nya kekecilan yang kemudian aku turut mengiklankannya di story
instagram milikku. Dia sudah bisa Twitteran rupanya. Berarti dia sudah membeli
paketan. Juga sudah membuka Story Instagram milikku. Lihat, dan geser beberapa
akun.
Tidak ada yang menarik pikirku.
Sampai kemudian di pertigaan kampus yang ada di Jalan Solo
itu. Yang di pos polisinya galak sekali itu. Yang sampai sekarang aku masih
deg-degan kalau lewat sana. Aku kemudian teringat salah satu postingan.
Postingan yang tadinya aku anggap biasa saja. Yang ketika aku masih berpikir
itu adalah orang lain. tapi kalau aku memikirkannya lagi itu benar-benar
mengganggu pikiranku.
Sampai juga aku akhirnya di mall yang terletak di Jalan
Solo. Salah satu mall favoritku yang memang secara fasilitas sangat nyaman
sekali dibandingkan dengan mall lainnya. Menurutku.
Di depan mall tadi aku kemudian membuka WhatsApp ku. Masih belum
terbalas pesannya. Juga tidak ada status “online” di sana. Pikiranku semakin
tidak karuan. Semoga jangan. Semoga jangan. Aku terus berpikir seperti itu.
Jam 13.25
Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk berhenti sejenak. Lalu
membuka kembali akun Instagram yang postingan tadi aku anggap biasa saja. Aku cermati
berulang kali. Aku zoom in. Aku lihat berulang kali sambil dalam hati masih
berharap semoga bukan. Semoga bukan. Semoga bukan.
Aku kemudian menelponnya menggunakan video call. Sampai batas
panggilan habis, tidak diangkat. Tumben sekali. Dia yang mengatakan kepadaku, “kalau
bisa kita telponan pakai video call aja. aku emoh ndelok mbak-mbak korea neng
DP mu” begitu. Telpon berulang kali. Berulang kali. Tidak ada jawaban.
Pikiranku benar-benar sudah tidak karuan. Dan akhirnya aku
teringat tentang apa yang terjadi di Twitter siang tadi. Juga yang terjadi di
Instagram. Aku hubungkan semuanya. Dan yang tadinya hanya kepalanya yang sakit.
Sekarang tambah dada.
Jam 13.37
Entah kenapa siang tadi dadaku rasanya sesak sekali.
Jam 13.58
Aku langsung menuju ke tempat mereka pergi. Perasaan yang
tidak karuan dan otak yang tidak bisa untuk berpikir jernih itu membawaku ke
sana. Pikiran yang isinya “semoga jangan”, “semoga bukan”, “ah nggak mungkin”
mulai berubah menjadi, “hayo aku weruh lho” “hayo do ngopo”.
Aku sampai tempat tersebut. Tidak ada motor mereka
terparkir.
Pikiranku kembali berpikir seperti ini “salah koe, ra
mungkin de’e neng kene. Paling yo turu awan. Mung mungkin de’e ra krungu nek
mbok telpon.”
Sampai akhirnya juga berubah menjadi seperti ini
“sudah pulang mungkin?”
“jangan-jangan salah tempat?”
“jangan-jangan naik mobil?”
Aku kemudian tancap gas lagi berkeliling sekitar tempat
tadi. Jangan-jangan aku memang melewatkan sesuatu. Atau memang dari awal mereka
tidak di sana. aku kembali mengecek handphoneku. Melihat gambar yang tadi. Benar.
Mereka benar di sana. Tapi kenapa tidak ada?
Aku kembali melanjutkan perjalananku, tapi sudah tidak
mempunyai tujuan.
Jam 14.00
Sampai pada akhirnya ada pesan masuk darinya. Membahas chat
kami yang terakhir, juga jawaban atas pertanyaan yang terjadi di hari itu
kenapa aku sampai melakukan 17 panggilan ke nomor handphonenya kurang dari 1
jam.
Aku hanya bisa tersenyum kecut ketika membaca pesannya.
Dia menelponku. Yang tadinya tidak mau aku angkat, akhirnya
juga aku angkat karena sudah membaca isi pesannya.
Memang, ketika dia menuliskan pesannya, ada beberapa hal
yang rasanya sudah terangkat dari rasa sakit ini. Namun beberapa juga masih
ada.
Mungkin seharusnya, tadi aku sempat menyusul kalian di sana.
Mungkin seharusnya, tadi aku di sana dan menanyakan, “lagi
do ngopo e? Dolan kok ra ngajak-ngajak.”
Mungkin seharusnya, tadi aku menanyakannya langsung padanya
di sana kenapa chat dan telponku tidak dijawab.
Mungkin seharusnya, tadi aku menanyakan langsung padanya
kenapa kamu malah main nggak tidur siang, padahal beberapa hari ini kamu kurang
tidur karena nglembur tugas.
Mungkin seharusnya, tadi aku menanyakannya langsung padanya
kenapa kamu main, tapi kamu nggak sama aku?
Sebenarnya pertanyaan itu aku sudah mempunyai jawabannya.
Aku terlalu lama berpikir hingga membuatku kehilangan
kesempatan untuk menyusul mereka.
Aku sering tidak bisa diajakin main karena “sibuk” dan “banyak
sekali acara”.
Hari ini seharusnya, aku bisa mengajaknya pergi beli sup
buah yang dia tidak tau dimana tempatnya itu walaupun sebenarnya dekat dengan
rumahnya. Lalu pergi langsung ke pantai. Dan karena masih termasuk siang aku
berencana mengajaknya ke pantai di daerah Gunung Kidul, karena kalau di daerah
Bantul sudah pernah. Namun rencana hanyalah rencana, semua tidak terjadi dan
hanya meninggalkan rasa sakit di dada.
Seharusnya, ketika mendapatkan pesan darinya tentang, “Ayok dolan
ning pantai *emoticon*” tadi aku langsung menelponnya dan mengajaknya.
Mungkin memang benar, apa yang dia katakan malam ini, kalau
aku ini terlalu banyak fafifu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar