Senin, 24 Juli 2017

Miss Call

Jam 13.37

Sakit sekali.

Dadaku rasanya sesak sekali.

Jam 08.00

“Aku harus bangun pagi.” pikirku semalam. Aku dimintai tolong untuk membuatkan template brosur untuk tugas UAS nya. Aku tidak mau mengacaukan jadwalnya yang sedang melaksanakan UAS. Sudah cukup banyak kekacauan yang aku buat hingga dia tidak bisa konsentrasi dalam menghadapi ujiannya kali ini.

Jam 10.00

Ada pesan masuk darinya, menanyakan apakah sudah selesai atau belum. Belum jawabku, masih ada beberapa hal yang harus disusun. Aku meminta tambahan waktu 10 menit. Untuk memberikan background kataku.

Sudah 20 menit sejak pesannya masuk menanyakan tugasnya. Aku masih belum selesai menyusunnya.

Dan lagi, ternyata pagi ini aku mengacaukan jadwal pengumpulan tugasnya yang seharusnya dikumpulkan pagi ini. Membuatnya harus pergi ke kost temannya karena sudah ditinggal pulang dari kampus. Aku paham kalau memang dia marah denganku pagi tadi. Karena memang akunya sendiri yang keterlaluan.

Jam 12.11

Ada pesan masuk darinya. Menggunakan emoticon tertawa yang ada cipratan air matanya. Sebuah hal yang sederhana namun bisa membuat ku ikut tersenyum dengan adanya emoticon tersebut. Setidaknya dia sudah bisa tertawa lagi. Pikirku.

Aku kemudian membalasnya dengan bersemangat juga. Bahkan langsung berpikir membuat rencana hari ini sepulang mengantarkan Mbak ku bekerja.

Jam 12.22

Pesan masuk darinya yang terakhir siang tadi, aku membalasnya jam 12.35. Setelah itu semua hal itu terjadi.

Aku pergi mengantarkan Mbak ku bekerja, sembari membuka Instagram dan WhatsApp, dan Twitter. Rupanya ada salah seorang temanku yang menjual sepatunya karena size-nya kekecilan yang kemudian aku turut mengiklankannya di story instagram milikku. Dia sudah bisa Twitteran rupanya. Berarti dia sudah membeli paketan. Juga sudah membuka Story Instagram milikku. Lihat, dan geser beberapa akun.

Tidak ada yang menarik pikirku.

Sampai kemudian di pertigaan kampus yang ada di Jalan Solo itu. Yang di pos polisinya galak sekali itu. Yang sampai sekarang aku masih deg-degan kalau lewat sana. Aku kemudian teringat salah satu postingan. Postingan yang tadinya aku anggap biasa saja. Yang ketika aku masih berpikir itu adalah orang lain. tapi kalau aku memikirkannya lagi itu benar-benar mengganggu pikiranku.

Sampai juga aku akhirnya di mall yang terletak di Jalan Solo. Salah satu mall favoritku yang memang secara fasilitas sangat nyaman sekali dibandingkan dengan mall lainnya. Menurutku.

Di depan mall tadi aku kemudian membuka WhatsApp ku. Masih belum terbalas pesannya. Juga tidak ada status “online” di sana. Pikiranku semakin tidak karuan. Semoga jangan. Semoga jangan. Aku terus berpikir seperti itu.

Jam 13.25

Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk berhenti sejenak. Lalu membuka kembali akun Instagram yang postingan tadi aku anggap biasa saja. Aku cermati berulang kali. Aku zoom in. Aku lihat berulang kali sambil dalam hati masih berharap semoga bukan. Semoga bukan. Semoga bukan.
Aku kemudian menelponnya menggunakan video call. Sampai batas panggilan habis, tidak diangkat. Tumben sekali. Dia yang mengatakan kepadaku, “kalau bisa kita telponan pakai video call aja. aku emoh ndelok mbak-mbak korea neng DP mu” begitu. Telpon berulang kali. Berulang kali. Tidak ada jawaban.

Pikiranku benar-benar sudah tidak karuan. Dan akhirnya aku teringat tentang apa yang terjadi di Twitter siang tadi. Juga yang terjadi di Instagram. Aku hubungkan semuanya. Dan yang tadinya hanya kepalanya yang sakit. Sekarang tambah dada.

Jam 13.37

Entah kenapa siang tadi dadaku rasanya sesak sekali.

Jam 13.58

Aku langsung menuju ke tempat mereka pergi. Perasaan yang tidak karuan dan otak yang tidak bisa untuk berpikir jernih itu membawaku ke sana. Pikiran yang isinya “semoga jangan”, “semoga bukan”, “ah nggak mungkin” mulai berubah menjadi, “hayo aku weruh lho” “hayo do ngopo”.
Aku sampai tempat tersebut. Tidak ada motor mereka terparkir.

Pikiranku kembali berpikir seperti ini “salah koe, ra mungkin de’e neng kene. Paling yo turu awan. Mung mungkin de’e ra krungu nek mbok telpon.”

Sampai akhirnya juga berubah menjadi seperti ini

“sudah pulang mungkin?”

“jangan-jangan salah tempat?”

“jangan-jangan naik mobil?”

Aku kemudian tancap gas lagi berkeliling sekitar tempat tadi. Jangan-jangan aku memang melewatkan sesuatu. Atau memang dari awal mereka tidak di sana. aku kembali mengecek handphoneku. Melihat gambar yang tadi. Benar. Mereka benar di sana. Tapi kenapa tidak ada?
Aku kembali melanjutkan perjalananku, tapi sudah tidak mempunyai tujuan.

Jam 14.00

Sampai pada akhirnya ada pesan masuk darinya. Membahas chat kami yang terakhir, juga jawaban atas pertanyaan yang terjadi di hari itu kenapa aku sampai melakukan 17 panggilan ke nomor handphonenya kurang dari 1 jam.

Aku hanya bisa tersenyum kecut ketika membaca pesannya.

Dia menelponku. Yang tadinya tidak mau aku angkat, akhirnya juga aku angkat karena sudah membaca isi pesannya.

Memang, ketika dia menuliskan pesannya, ada beberapa hal yang rasanya sudah terangkat dari rasa sakit ini. Namun beberapa juga masih ada.

Mungkin seharusnya, tadi aku sempat menyusul kalian di sana.

Mungkin seharusnya, tadi aku di sana dan menanyakan, “lagi do ngopo e? Dolan kok ra ngajak-ngajak.”

Mungkin seharusnya, tadi aku menanyakannya langsung padanya di sana kenapa chat dan telponku tidak dijawab.

Mungkin seharusnya, tadi aku menanyakan langsung padanya kenapa kamu malah main nggak tidur siang, padahal beberapa hari ini kamu kurang tidur karena nglembur tugas.

Mungkin seharusnya, tadi aku menanyakannya langsung padanya kenapa kamu main, tapi kamu nggak sama aku?

Sebenarnya pertanyaan itu aku sudah mempunyai jawabannya.

Aku terlalu lama berpikir hingga membuatku kehilangan kesempatan untuk menyusul mereka.

Aku sering tidak bisa diajakin main karena “sibuk” dan “banyak sekali acara”.

Hari ini seharusnya, aku bisa mengajaknya pergi beli sup buah yang dia tidak tau dimana tempatnya itu walaupun sebenarnya dekat dengan rumahnya. Lalu pergi langsung ke pantai. Dan karena masih termasuk siang aku berencana mengajaknya ke pantai di daerah Gunung Kidul, karena kalau di daerah Bantul sudah pernah. Namun rencana hanyalah rencana, semua tidak terjadi dan hanya meninggalkan rasa sakit di dada.

Seharusnya, ketika mendapatkan pesan darinya tentang, “Ayok dolan ning pantai *emoticon*” tadi aku langsung menelponnya dan mengajaknya.


Mungkin memang benar, apa yang dia katakan malam ini, kalau aku ini terlalu banyak fafifu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar